Sabtu, 20 September 2008

Menyiapkan Produk Unggulan Tahun 2030



"Menyiapkan Produk Unggulan Tahun 2030"
Membayangkan Indonesia tahun 2030, masih ada sejumput harapan yang mengemuka dalam Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030”. Produk-produk unggulan Indonesia yang kompetitif di masa depan diharapkan dapat diperoleh melalui pembenahan strategi perekonomian menjadi lebih terarah dan konsisten.
Dengan sekitar 55 persen dari 106 juta jiwa angkatan kerja yang berpendidikan sebatas sekolah dasar, Indonesia kini masih mengandalkan produk bernilai tambah rendah dari industri padat karya dengan teknologi yang relatif tidak kompleks. Industri makanan, minuman, dan tembakau, industri tekstil, pakaian jadi, kulit, dan sepatu, serta industri kayu menjadi ujung tombak ekspor manufaktur.
Industri padat karya telah berjasa dan memang masih dibutuhkan untuk mengangkat jutaan orang dari kemiskinan absolut. Akan tetapi, secara alamiah Indonesia tidak dapat terus mengandalkan produk-produk tersebut.
Saat ini Malaysia, Filipina, dan Thailand telah merambah pasar dunia melalui kinerja industri untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi dengan tingkat teknologi lebih kompleks. Singapura dan Korea Selatan bahkan giat mengembangkan teknologi informasi dan perancangan produk.
Sementara itu, industri padat karya Indonesia juga makin sulit bersaing karena biaya produksi yang secara artifisial terlalu tinggi. Biaya produksi tidak meningkat sejalan dengan tingkat produktivitas. Kenaikan biaya produksi antara lain justru didorong beban tambahan akibat pola-pola ekonomi biaya tinggi.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia memang berkembang dari sekitar tujuh persen pada tahun 1970 menjadi 28 persen pada tahun 2005. Di sisi lain, peranan sektor pertanian terhadap PDB turun dari sekitar 34 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 15 persen tahun 2005.
Kontribusi sejumlah sektor lain, termasuk sektor jasa, bertumbuh dari 28 persen tahun 1970 menjadi 58 persen tahun 2005. Perubahan struktur perekonomian dari pertanian ke sektor manufaktur dan jasa sepintas memang mengesankan, tetapi jika diamati lebih jauh, terbukti mandek pada produk-produk berteknologi rendah dari industri padat karya.
Hasil studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Support Facility for Indonesia Recovery (2002) menunjukkan produktivitas total faktor produksi Indonesia hanya tumbuh 0,7 persen selama periode 1970-1996. Pada periode yang sama, produktivitas di Malaysia, Thailand, Korea, dan Taiwan tumbuh masing-masing 0,9 persen, 1,8 persen, 1,5 persen, dan 2,0 persen.
Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh akumulasi faktor produksi terutama investasi, dibandingkan dengan perkembangan teknologi. Upaya peningkatan produk (upgrading) melalui pemanfaatan teknologi untuk pengembangan produk, perbaikan kualitas, dan pengemasan produk sampai saat ini belum menjadi tren industri.
Sumber daya terbarukan
Sejumlah panelis dalam diskusi ini berpendapat, Indonesia mempunyai keunggulan pada industri berbasis sumber daya alam dan industri permesinan padat karya di masa mendatang. Sumber daya alam yang dapat diandalkan tentulah jenis sumber daya yang terbarukan, termasuk pertanian dan kehutanan di dalamnya.
Dengan luasan 40.000 kilometer area keliling khatulistiwa berada di Indonesia, negeri ini mempunyai lahan pertanian tropis terluas di dunia. Indonesia juga menjadi negara kepulauan terluas di dunia dengan 5,8 juta kilometer persegi atau 75 persen wilayahnya merupakan perairan laut.
Sampai saat ini sekitar 49 persen dari angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. Ironisnya, sekitar 60 persen dari masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah petani.
Selain potensi produksi dengan luasnya kawasan produktif, Indonesia sekaligus merupakan pasar amat besar bagi produk pangan. Populasi penduduk saat ini mencapai 220 juta jiwa dan diperkirakan dapat berlipat hingga 400 juta jiwa pada tahun 2035.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan, Indonesia saat ini menjadi importir beras, kedelai, susu, garam, buah-buahan, dan beragam produk pertanian lainnya.
Beberapa panelis menyatakan keprihatinan karena Indonesia belum berorientasi menjadi bangsa mandiri di sektor pertanian sampai hari ini. Ketiadaan orientasi tampak ketika tuntutan peningkatan kebutuhan selalu dijawab pemerintah dengan peningkatan impor, bukan dengan meningkatkan produksi di dalam negeri. Potensi pertanian juga tidak berkembang karena tak didukung beragam kebijakan negara.
Begitu pun, pada tahun 2030, Indonesia diharapkan bukan saja sudah mampu berswasembada, tetapi juga dapat menjadi negara eksportir produk-produk pertanian tropis utama di dunia. Ekspor produk pertanian sudah harus berupa produk jadi, bukan lagi bahan baku atau barang setengah jadi.
Peningkatan volume dan kualitas produk-produk pertanian tidak dapat ditunda. Tanpa peningkatan kualitas produk, Indonesia hanya akan dibanjiri produk-produk impor pangan. Akibatnya, pada pasar dalam negeri pun, produk pertanian Indonesia tidak akan dapat bersaing.
Teknologi dan diferensiasi
Di masa depan, sektor pertanian dan industri manufaktur yang mengolah hasil pertanian diyakini perlu makin erat terjalin dalam rantai produksi. Untuk mempertahankan daya saing produk yang dihasilkan, sektor manufaktur tak terhindarkan akan menjadi lebih padat modal dan padat teknologi.
Produk-produk yang dihasilkan juga lebih terdiferensiasi. Saat ini hampir semua perusahaan otomotif melakukan outsourcing untuk pengerjaan sebagian besar komponennya. Semua perusahaan yang terlibat dalam rantai produksi tentu mengikuti standar ketat berkaitan dengan kualitas dan pengiriman produk.
Pada tahun 2030 produk yang dihasilkan industri padat karya seperti garmen pun diprediksi berkembang ke arah diferensiasi berdasarkan siklus selera konsumen. Terlebih lagi, produk dari industri yang sekarang pun sudah berdiferensiasi tinggi seperti otomotif dan elektronik.
Seorang panelis mengingatkan, Indonesia juga tidak dapat sekadar menjadi pemakai produk teknologi, melainkan juga harus menjadi pencipta teknologi dan pembuat barang berteknologi tinggi yang kita butuhkan secara ekonomis.
Di sisi lain, produk kerajinan tetap berprospek menarik di masa depan karena dapat memanfaatkan bahan baku apa saja, juga dapat dikerjakan oleh siapa saja asalkan berketerampilan. Walaupun bukan produk massal, pasar industri kerajinan tak terbatas di dalam maupun luar negeri. Seorang pengusaha kerajinan di Jakarta Barat, misalnya, rutin mengekspor mangkuk salad kayu ke Afrika dengan harga 120 dollar AS per buah sejak 1991.
Satu hal yang pasti, peluang tidak datang tanpa dicari. Potensi juga tidak berarti apa-apa jika tidak didukung strategi dan implementasi konsisten.

Made By : The Little Sugar Entrepreneur
E-mail : thelittle.sugar@yahoo.co.id
thelittlesugar.team@gmail.com
Personal Blogs: http://thelittlesugarentrepreneur.blogspot.com

Tidak ada komentar: